Oleh: Muhammad Dimas Hidayatullah Wildan, M.HI.
(Dosen Fakultas Syariah UIN Mataram dan Fasilitator Moderasi Beragama Kemenag RI)
INDONESIA adalah Negara yang besar dan majemuk yang berasaskan Pancasila, kemajemukan Indonesia tergambar dari ribuan Pulau, banyaknya Suku Bangsa, Ras, Bahasa, Agama, serta Adat Istiadat, tetapi tetap dipikul oleh satu Negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itulah cerminan kalau Indonesia memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan Negara-Negara lain. Keberagamaan tersebut sampai saat ini tetap dijunjung dalam bentuk pengamalan nilai-nilai moderasi dan juga tetap menghargai perbedaan dalam segala aspek kehidupan. Sedangkan Negara-negara lain terkadang hanya memiliki satu suku, satu bahasa, satu bangsa, satu pulau tetapi dipikul oleh puluhan Negara.
Walapun Menghargai perbedaan sudah lama terealisasikan dikalangan rakyat Indonesia, namun sampai saat ini masih ada yang melakukan tindakan tindakan yang menyimpang dari undang-undang yang ditetapkan oleh agama maupun aturan-aturan yang telah dijalankan oleh Negara ini sendiri, di sinilah perlunya kita kembali melihat dan mencermati tiga piagam yang telah dirumuskan oleh junjungan kita dan para tokoh bangsa ini. Rumusan tersebut adalah Piagam madinah yang dirumuskan oleh junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW., Piagam Jakarta yang di rumuskan oleh tokoh bangsa kita dan Piagam Surabaya (Surabaya Charter) yang dirumuskan oleh cendikiawan-cendikiawan Abad ini dalam acara Annual International Confrence on Islamic Studies (AICIS) 2023 di Surabya.
Menghargai perbedaan dalam tiga piagam kemanusiaan tersebut sebagai dasar menghargai perbedaan dan tolerassi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Piagam Madinah misalnya sebagai Piagam Kemanusiaan pertama yang disusun oleh Nabi besar Muhammad SAW. yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yasthrib pada tahun 622.
Piagam Madinah setidaknya memiliki 47 Pasal yang mengatur sistem perpolitikan, sistem keamanan, sistem kebebasan beragama, sistem kesetaraan di depan hukum, sistem perdamaian, dan sistem pertahanan.
Melihat dari hasil Piagam madinah tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa setiap perdamaian dan dalam menjalankan nilai-nilai toleransi maka perlu adanya tokoh atau kelompok penengah yang kita sebut sebagai figur sentral. Sedangkan untuk bangsa dan Negara Indonesia sebagai figur sentral dalam menjalankan nilai-nilai toleransi dan moderasi beragama adalah Kementerian Agama itu sendiri kerena menaungi semua agama yang ada di Indonesia ini, adapun Kemenag saat ini dinahkodai oleh Gus Yaqut Cholil Qoumas.
Moderasi Beragama memang familiar kita dengar sejak Kementerian Agama di pegang oleh Pak Lukman Hakim Saifuddin, akan tetapi sosialisasi serta penguatan-penguatan Moderasi beragama sampai tingkat akar rumput dilaksanakan oleh Gus Yaqut sebagai sapaan akrab Yaqut Cholil Qoumas.
Piagam Kemanusiaan kedua adalah Piagam Jakarta, Piagam ini merupakan bentuk desain dan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta oleh panitia Sembilan yaitu; Haji Soekarno, Haji Achmad Soebardjo, Haji Abdul Kahar Muzakkir, Alex Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Haji Mohammad Hatta, KH. Abdul Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Haji Mohammad Yamin. Rancangan Piagam Madinah ini berdasarkan usulan dari Mohammad Yamin pada 10 Juli 1945, atau pada Sidang BPUPKI Kedua.
Adapun isi dari Piagam Jakarta terdiri terdiri dari empat alinea yang selanjutnya menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Isi dari piagam Jakarta bisa sebagai dasar menghargai perbedaan dalam konsep kebinekaan di Indonesia. Alenia pertama contohnya menginginkan semua bangsa Indonesia memiliki hak kemerdekaan, baik kemerdekaan dalam beragama, merdeka dalam beribadah menurut keyakinan masing-masing serta merdeka dalam berdemokrasi.
Sedangkan alenia kedua menjelaskan adanya kemerdekaan bagai bangsa Indonesia maka sudah sepatutnya bisa menjalankan nilai persatuan walaupun berbeda agama, suku, bangsa yang ada di Indonesia ini. Bisa berbuat adil baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain, bisa memakmurkan Negara sendiri waalupun tidak menjadi pemimpin secara struktural, karena pemimpin itu adalah tanggung jawab setiap jiwa manusia. Lebih singkatnya alenia kedua ini menginginkan setiap warga Negara bisa memproporsionalkan diri dalam segala bentuk tindakan dalam bahasa Agama Islam di sebut dengan Wasatiyah.
Aleni ketiga dan keempat ini sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia tidak terlepas dari Tuhan Yang Maha Esa yang membantu dalam segala bentuk perjuangan dan juga memberikan arti seluruh rakyat yang tinggal di Indonesia harus beragama dan salaing menghargai terhadap perbedaan.
Piagam Kemanusiaan yang ketiga adalah Piagam Surabaya, Piagam ini merupakan landasan toleransi dan menghargai perbedaan yang dicetuskan dalam acara tahunan Kementerian Agama RI yaitu Annual International Confrence on Islamic Studies (AICIS) 2023 di Surabya. Aicis tahun 2023 ini mengambil tema Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace (Rekontekstualisasi Fiqh sebagai sebuah keniscayaan untuk mendukung prinsip kesamaan derajat kemanusiaan dan perdamaian yang berkelanjutan).
Acara AICIS tahun 2023 ini yang menghasilkan Surabaya Charter bisa menjadi landasan meningkatkan perdamaian, mendukung perinsip kemanusiaan sebagai bentuk toleransi dan menghargai setiap perbedaan yang terjadi di Negara ini.
Piagam Surabaya lahir berdasarkan fenomena agama di dunia ini yang begitu cepat berubah, berkembangnya cara pandang, sikap dan cara beragama yang berlebihan (ekstrim), yang mengesampingkan martabat kemanusiaan. Berkembangnya kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik berpotensi memicu konflik. Serta berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI.
Melihat kompleksitas permasalahan beragama, berbangsa dan bernegara yang terjadi di Indonesia dan dunia sehingga muncul piagam Surabaya sebagai bentuk urgensi dalam memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, mengelola keberagaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan serta merawat keindonesiaan dan merawat keduniaan.
Munculnya Surabaya Charter memiliki proyeksi untuk menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik, fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras. Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip-prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama.
Selain itu Proyeksi piagam Surabaya sebgaimana yang disampaikan Rektor UIN Sunan Ampel Surabya; Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan.
Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih.
Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua.
Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.
Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
Untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, maka dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif. “Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian.
Tiga piagam Kemanusiaan yang luar bisa ini diharapkan bisa menjadi landasan penguat bagi kita semua dalam menjalankan toleransi di tengah-tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama di Indonesia. Tetap memelihara persatuan dan kesatuan dengan cara selalu menghargai perbedaan apapun yang terjadi dan tidak mudah menyalahkan orang lain sebelum melakukan klarifikasi (tabayun).(*)