Ilustrasi

Zul-Rohmi Berpotensi Berutang Tahun 2023

MATARAM – Utang Pemerintah Provinsi NTB dalam program kegiatan tahun 2022 nampaknya masih akan jadi masalah. Pasalnya, pemerintah masih berutang 500 miliar dari program kegiatan. Lebih khusus Pokok Pikiran (Pokir) DRPD NTB yang pengerjaan sudah tuntas tapi tak kunjung dibayar.

“Proyek program 2022 murni yang belum terbayarkan sampai sekarang,” ungkap Wakil Ketua DPRD NTB, Muzihir, kemarin. 

Muzihir menerangkan, total nilai program Rp 500 miliar, Rp 350 miliar di dalamnya merupakan Pokir 65 anggota DPRD NTB. 

 

Mulanya eksekutif sudah bisa mulai membayarkan dengan mencicil di pekan ini. Namun masih ada dinamika yang terjadi antara eksekutif dan legislatif berapa nominal yang harus dibayarkan. Sebab, untuk membayar keseluruhan proyek murni 2022 hal yang sangat mustahil. 

 

“Ada yang minta harus dibayar 30 persen, ada yang 40 persen, itulah sedang dikaji,” katanya. 

 

Jika telah menemukan kesepakatan 30 persen atau sebesar Rp 150 M maka Pemprov sudah bisa membayar menyesuaikan dengan kas di daerah. Ketua DPW PPP NTB itu menjelaskan skema pembayaran itu dihajatkan agar di 2023 Pemprov tidak lagi memiliki utang. Sehingga sisa hutang yang akan dibayarkan 70 persen itu bisa terbayarkan antara Januari atau Februari 2023. 

 

“Makanya di KUA PPAS itu. Kalau pun ada pengakuan utang nanti, besok pengakuan hutang itu tapi mulai dihitung/dibayar dari sekarang,” terang Muzihir. 

 

“Kalau 30 persen itu Rp 150 Miliar. Sisanya Rp 350 Miliar akan dibayarkan Januari atau Februari tapi ndak perlu Perkada. Nanti di RAPBD 2023 masuk pengakuan utang,” sambungnya.

Dia menghindari pengalaman 2021 dimana semua utang yang diselesaikan di 2022 itu tidak masuk dalam pengakuan utang. Imbasnya pembayaran dilakukan menggunakan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) Satu. Utang tahun 2021 yang dibayarkan tahun ini sebesar Rp 165 M. Beruntung semua itu bisa diselesaikan. 

 

Dengan adanya skema pembayaran itu, Muzihir berharap semua pihak baik eksekutif maupun anggota DPRD NTB sendiri bisa rem diri. Mengurangi program masing-masing. Sebaliknya jika Pemprov masih saja bermegah-megahan dengan program sementara kondisi APBD minim tentu hal tersebut berpotensi memunculkan hutang kembali. 

 

“Termasuk jatah Pokir 2023. Dewan harus legowo menerima kurang dari biasanya. Untuk semua kita (berkurang),” ungkapnya. 

 

Terpisah, Ketua Komisi III DPRD NTB Bidang Keuangan dan Perbankkan, TGH Mahalli Fikri mengaku skema pembayaran 30 persen tahun ini dan 70 persen di 2023 sudah selesai disepakati eksekutif dan legislatif. 

 

“Dari hasil komunikasi dengan TAPD termasuk BPKAD, semua bisa diselesaikan 2023 (70 persen). Pasca 2023 kita tidak lagi punya utang,” terang Mahalli. 

 

Apa yang menjadi kesepakatan kedua belah pihak itu dilihat Mahalli optimis bisa berjalan. Asalkan Pemprov konsisten tidak lagi main ubah di tengah jalan yang mungkin disebabkan karena situasi dan kondisi. Politisi Demokrat itu mencontohkan ada perintah refokusing dari pusat ditengah jalan namun karena mereka tidak berkewajiban meminta pendapat dewan, perubahan itu dilakukan langsung. 

 

“Itu yang menyebabkan kondisi keungan berubah-ubah. Kalau itu tidak terjadi lagi dan esksekutif konsisten dengan hasil kesepakatan bersama DPRD. Insya allah Zul-Rohmi tidak akan meninggalkan utang,” yakin dia.

 

Adapun pembayaran yang 70 persen itu dilakukan dengan di addendumkan (diubah kembali) kontrak kerjasama dengan pihak ketiga di sejumlah program kegiatan. 

 

Disamping itu, pihaknya berharap baik Pemprov maupun legislatif bisa lebih cerdas. Eksekutif bisa lebih inovatif mencari sumber-sumber PAD tambahan. Hal ini untuk mengantisipasi kejadin-kejadian bencana alam yang tidak diinginkan. 

 

Mahalli malah yakin jika urusan aset Pemprov NTB di Gili Trawangan bisa segera rampung maka aset tersebut bisa cepat menghasilkan PAD mencapai Rp 150 miliar. Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah aparat lainnya sedang membantu penyelesaian kerjasama. Potensi pendapatan itu jika kerjasama dilakukan bersama masyarakat setempat tidak lagi dengan pihak ketiga. 

 

“Kalau itu bisa disetujui, disepakti tidak melanggar hukum, justru tidak akan ada masalah malah cepat kita hasilnya Rp 150 M,” tegasnya.

Berikutnya di internal dewan sendiri, Mahalli berharap khususnya kepada Bapemperda tidak lagi membuat Perda yang membutuhkan anggaran. Sebaliknya harus dibuat Perda yang bisa mendatangkan uang.(jho)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *