Dari Khotib Baru Didorong jadi Imam
Beragam cerita perjalanan hidup para imam masjid. Salah satunya, Muhammad Tajudin asal Dusun Repok Asem Desa Lepak Timur, Kecamatan Sakra Timur. Seperti apa? berikut catatan wartawan Radar Mandalika.
FENDI – LOMBOK TIMUR
NAMANYA Muhammad Tajudin. Pria ini lahir di Dusun Repok Asem Desa Lepak Timur, Kecamatan Sakra Timur, Lombok timur. Dia merupakan anak kedelapan dari 10 bersaudara, dimana saudaranya tidak ada yang tamat pendidikan tinggi.
Sebagai keluarga dari kalangan kurang mampu, kesehariannya dia menempuh pendidikan dasar, sekolah menengah, dan sekolah menengah atas dengan berjalan kaki. Jarak rumahnya dengan lokasi pendidikan paling jauh 2 km.
Pria kelahiran Lepak Timur 31 Desember 1996 ini menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Lekong Desa Lepak saat itu, kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) NWDI Juet, baru masuk Madrasah Aliah (MA) NWDI Juet.
Berbekal semangat dan dukungan orangtua untuk bisa mendalami pendidikan agama, dia kemudian menempuh pendidikan lanjutan di Mahad Darul Quran Wal Hadist (MDQH) NWDI, Pancor. Selain mendalami ilmu agama dia juga kuliah di Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) NWDI, Pancor.
“Kalau ekonomi sangat kesulitan, tapi alhamdullilah orangtua dan guru- guru di sekolah mendukung masuk mahad,” ceritanya.
Diceritakannya, seiring berjalannya waktu setelah mendalami ilmu agama selama 2 tahun di Mahad, ia dipercaya untuk menjadi pemandu berbagai kegiatan keagamaan. Mulai dari imam salat, khotib, hingga menjadi imam salat tarawih.
“Awalnya tahun 2018 mulai dari menjadi khotib, itu pun menggunakan konsep. Kemudian bisa tanpa coretan, alhamdullilah dipercaya sebagai imam,” katanya.
Dia menceritakan mendapat kepercayaan sebagai imam di masyarakat dengan pendidikan Mahad tidak sulit, bahkan sangat mudah. Namun yang menjadi masalah sebutnya menjaga kepercayaan itu masyarakat. Sebab, dengan kondisi masyarakat yang banyak dan dari berbagai golongan, sangat rentan dengan perselisihan. Namun untuk menghindari itu dia selalu dekat dengan para tokoh dan berbagi pengalaman seputar kegiatan agama.
Menurut dia, seolah tak cukup dengan kemampuan yang dimiliki, ia bersama beberapa mahasiswa melakukan safari ramadan dengan menyasar masing- masing masjid yang ada di Sakra Timur. Hal ini dilakukan selama 2 tahun setiap ramadan dan mendapat apresiasi dari para pengurus masjid.
“Kita datang ke masjid sesuai jadwal, kita jadi imam tarawih, memberikan tausiah, ikut tadarusan, itu kita lakukan keliling,” ungkapnya.
Kegiatan ini katanya, menambah pemahaman dan pengalaman tentang kebiasaan tarawih di setiap masjid yang ada, belajar menghadapi masyarakat yang awam, masyarakat yang kritis, bahkan juga masyarakat aliran tertentu.
“Saya pernah ditanya ilmu tarekat, soal alam setelah kematian dan kehancuran, tapi saya jelasnya tidak berani komentar soal itu, ada banyak peristiwa yang bisa dibuat pelajaran,” tuturnya.
Kendati dia mendapat apresiasi dari pengurus masjid yang dikunjungi, namun dirinya harus berjibaku dengan cemooh dari warga sekitar, dimana dirinya di anggap lebih memilih keluar dari pada meramaikan tempat ibadah yang ada di rumahnya sendiri.
“Saya dipandang sebelah mata karena itu, tapi untung saat itu masih sekolah jadinya bisa dimaklumi,” terangnya.
Berbekal pengalaman dan ilmu agama yang ditempuh, pemuda 25 tahun ini aktif memimpin salat berjamaah, dan kegiatan- kegiatan agama yang ada di kampungnya termasuk sebagai imam salat tarawih.
“Alhamdulillah masih dipercaya masyarakat,” ucapnya. (bersambung)