PRAYA – Kasus stunting atau balita kurang gizi kronis di wilayah kerja Puskesmas Puyung, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah masih cukup tinggi. Puskesmas Puyung mencatat, angka kasus stunting di empat desa sasaran mencapai 21,69 persen atau 614 kasus berdasarkan data sampai Febuari 2021. Terdiri dari tinggi badan pendek ada sebanyak 353 orang, dan sangat pendek ada 261 orang.
Adapun rincian angka kasus stunting dari empat desa di wilayah kerja Puskesmas Puyung berdasarkan data sampai Febuari 2021. Di Desa Puyung mencapai 215 kasus, terdiri dari pendek 136 orang dan sangat pendek 79 orang. Desa Sukarara mencapai 168 kasus, terdiri dari pendek 98 orang dan sangat pendek 70 orang. Desa Barejulat mencapai 130 kasus, terdiri dari pendek 67 orang dan sangat pendek 63 orang. Sedangkan di Desa Gemel mencapai 101 kasus, terdiri dari pendek 52 orang dan sangat pendek 49 orang.
Koordinator Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) Puskesmas Puyung, Lale Reny Marliandini menjelaskan, terjadi penurunan angka kasus stunting. Dari 22,9 persen atau 675 kasus terdiri dari tinggi badan pendek 381 orang dan sangat pendek 294 orang di tahun 2020 menjadi 21,69 persen atau 614 kasus di 2021. Ada penurunan sebanyak 61 orang atau 1,21 persen. “Ada trent penurunan sih sedikit di bebarap desa,” katanya kepada Radar Mandalika, kemarin (22/7).
Sementara itu, Puskemas Puyung menargetkan, kasus stunting dapat ditekan atau diturunkan menjadi 19 persen pada 2024 mendatang. “Sekarang ini masih hampir 22 persen. Itu PR (Pekerjaan Rumah) kita. Mudahan nanti bisa kita turunkan 1 persen per tahun. Sulit ini,” ungkap perempuan berjilbab ini.
Di 2020, ujar Reny, penanganan stunting di desa sasaran sangat minim. Tahun lalu, hanya Desa Sukarara yang mengalokasikan anggaran penanganan stunting. Sementara waktu itu, desa lain mengalihkan anggaran untuk penanganan pandemi Coronavirus Disease (Covid-19). “Kalau 2021 ini, saya baru terima laporan itu dari tiga desa. Puyung, Sukarara, dan Gemel,” tuturnya.
Anak yang penderita stunting rata-rata usia 1-3 tahun dari empat desa sasaran. Penyebabnya terutama terkait pola asuh anak. Kemudian sosial budaya, pernikahan dini, penyakit hingga lingkungan yang kurang maksimal. “Lingkungan itu pasti menentukan penyakit. Karena kalau lingkungannya gak beres kan pasti anak sakit,” kata Reny.
“Sosial budaya juga mempengaruhi. Kalau anak sakit gak boleh dikasih makan yang protein tinggi malah. Nah itu yang menjadi hambatan. Kalau pernikahan ini masih kita bisa tangani waktu ibunya hamil. Tapi kalau sudah anaknya lahir itu dipengaruhi sosial budaya, lingkungan, sanitasi, penyakit. Kan penyakit itu asalnya dari lingkungan,” tambahnya menerangkan.
Dalam penanganan stunting. Puskesmas Puyung tetap turun ke masing-masing posyandu. Mulai dari kegiatan pemantauan, mengedukasi hingga pemberdayaan. Itu dianggap paling penting. “Karena kalau mau ngasih yang bentuknya PMT (Pemberian Makanan Tambahan) itu gak jaman lagi. Kalau menurut kami itu tidak mendidik,” tandas Reny.
Dikatakan, sekarang animo warga masyarakat untuk datang ke posyandu cukup tinggi. Kesadaran masyarakat sudah mulai bangkit. “Yang dulu kita biasanya ada beberapa posyandu yang dibawah 60 persen sasarannya, sekarang sudah hampir 80 persen. Terus didukung sama desanya ngasih PMT penyuluhan masyarakat jadi antusias,” ungkap Reny.
Kemudian jika ditemukan ada anak berpotensi penderita stunting. Kata Reny, pihaknya sekarang tetap meminta kader swipping untuk menimbang berat bada anak. Artinya kader turun ke lapangan meski di luar kegiatan posyandu. “Paling tidak dari kita lihat berat badannya, misalnya kalau tiga kali berturut-turut tidak naik berat badannya itu udah pasti dia berisiko stunting,” jelasnya.
Selain itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) para kader juga menjadi atensi pihak puskesmas. Karena itu sangat penting. Sebab, SDM merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kasus stunting. “Kita adakan pelatihan kader. Kita memberdayakan kader. Kader kita sudah latih bagaimana ngukur dan membacanya,” ujar Reny.
Tingkat akurasi tlat ukur dan timbangan juga menjadi sangat penting. Sementara itu, dari 48 posyandu di 43 dusun dari empat desa. Rata-rata masih menggunakan alat ukur dan timbangan manual yaitu dacin timbang. Jika kader tidak jeli maka data yang dihasilkan kemungkinan besar tidak akurat. “Alat sangat berpengaruh. Kalau dacin penyeimbangnya itu harus tetap kita ganti,” kata Reny.
Pihaknya sudah meminta desa menggalokasikan anggaran untuk pengadaan alat Microtoice. “Untuk menimbang balita kita masih pakai dacin. Yang saya tau sudah ada itu (Microtoice) Puyung sama Sukarara. Kemudian timbangan berat badan digital. Sukarara aja yang sudah ada timbangan digitalnya. Kalau timbangan berat badan yang biasa tidak memenuhi syarat,” bebernya.
Sementara, Puskesmas Puyung sudah mendapat alat Antropometri dari Pemerintah Provinsi (Pemrov) NTB. Sudah ada alat ukur digital seperti Length Board untuk mengukur panjang badan, dan Microtoice untuk mengukur tinggi badan. “Kita bawa dari sini ke masing-masing posyandu. Tapi kalau ditinggal di posyandu, ya ndak bisa,” kata Reny.
Dalam rangka memaksimalkan penanganan stunting. Desa diharapkan dapat mengalokasikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Sementara itu, anggaran untuk penanganan stunting dari Puskesmas Puyung sangat terbatas. “Kalau kita terbatas hanya dukungan dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan). Itupun dengan proporsi yang sudah ditetapkan,” kata Reny.
