MATARAM – Pemerintah Provinsi NTB akhirnya angkat bicara. Pemerintah berdalih semua perubahan yang ada dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi NTB Nomor 5 tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak (PPA) merupakan keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Sesuai dengan pasal Nomor 88 Peraturan Mendagri tahun 2018 Perda yang dibuat Provinsi difasilitasi oleh Mendagri melalui Ditjen Otonomi Daerah. Fasilitasi ini bersifat wajib. Perda itu sebelum ditetapkan dikirim ke Jakarta.
“Hasil fasilitasi itu wajib ditindaklanjuti. Jika tidak ditindaklanjuti maka tidak ada register di Perda itu. Jadinya yang melakukan perubahan itu Kemendagri,” kelit Kepala Biro Hukum Setda NTB, Ruslan A Gani, Kamis kemarin.
Katanya, mekanisme tersebut berlaku juga di kabupaten kota. Dimana yang melakukan fasilitasi itu Pemprov NTB. “Sama seperti Perda Kabupaten/Kota, kita (Pemprov) yang fasilitasi. Kalau pasal tidak sesuai ya dihilangkan,” tegasnya.
Dijelaskannya, sesuai Perda yang telah disahkan itu beberapa pasal lenyap. Jika mengacu pada draf Perda sebelumnya yaitu pasal yang mengatur sanksi dan pembiayaan. Katanya, Pasal yang menyangkut sanksi administratif diatur Pasal 30, berbunyi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian dari jabatan dan/atau denda administratif paling banyak Rp. 5.000.000,- (Lima Juta rupiah).
“Siapa juga yang melenyapkan,” sahutnya sambil tertawan.
Dalam bunyi selanjutnya, setiap orangtua yang memaksa dan/atau membiarkan anaknya melakukan perkawinan anak di luar ketentuan perundang-undangan dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis dan/atau denda administratif paling banyak Rp. 5.000.000,- (Lima Juta rupiah).
Setiap orang yang terlibat dalam pelaksanaan perkawinan anak diluar ketentuan perundang-undangan dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian dari jabatan dan/atau denda administratif paling banyak Rp. 5.000.000,- (Lima Juta rupiah). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur.
Kemudian sanksi Pidana di atur Pasal 31 berbunyi setiap orang yang melakukan pengulangan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000, (lima puluh juta rupiah).
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Terhadap hal itu, Gani mengaku pada perubahan yang disahkan itu juga dijelaskan secara detail model pencegahan yang dilakukan semua pihak. Sehingga prinsipnya tidak ada yang dihilangkan.
Tidak hanya pasal sanksi saja, pasal 32 yang mengatur pemantauan dan evaluasi pun dihilangkan. Pasal ini menjelaskan (1) Pemerintah Daerah melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pencegahan perkawinan anak. (2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara partisipatif oleh Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan melibatkan perangkat daerah dan pemangku kepentingan yang lain.
Terakhir, pasal 33 mengatur pembiayaan berbunyi, pembiayaan program dan kegiatan pencegahan perkawinan anak yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
Pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran pencegahan perkawinan anak paling sedikit 1 % dari APBD provinsi.
Pembiayaan program dan kegiatan pencegahan perkawinan anak yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Selain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pembiayaan program dan kegiatan pencegahan perkawinan anak dapat berasal dari, bantuan Pemerintah Pusat; dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Gani mengaku, pendanaan tidak dihapus. Dalam Perda itu jelas disebutkan pendanaanya mengacu kepada kemampuan keuangan daerah. “Jadi tetap ada,” jawabnya.
Sementara, Kepala Dinas P3AP2KB Provinsi NTB, Husnandiaty Nurdin yang dikonfirmasi Radar Mandalika tidak bicara apa-apa. Eni hanya mengirimkan emoji menangis via wa.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi heran pasal penting yang mengatur sanksi administratif dan pasal 31 mengatur sanksi pidana yang dihilangkan itu merupakan substansi dari Perda tersebut.
“Ini ibarat roh diambil dari jasad. Banyak sekali teman-teman mengungkapkan kekecewaannya. Sebagian besar terkait pepesan kosong Perda itu,” kata Joko terpisah.
Menurutnya, tujuan sanksi dalam Perda sebenarnya agar masyarakat tidak lagi menikahi anak dibawah umur. Apalagi, kasus pernikahan usia anak sangat marak di NTB.
Selain itu, pasal terkait alokasi satu persen untuk pencegahan perkawinan anak juga dihilangkan dari Perda tersebut. “Yang jelas, roh dari Perda itu telah dicabut,” kata dia.
Ketua Pansus Raperda, Akhdiansyah terlihat kecewa juga. Dirinya dalam waktu dekat akan meminta klarifikasi Biro Hukum. “Pasal terkait sanksi dan alokasi anggaran sudah clear kita bacakan di paripurna. Saya akan konfirmasi ke Biro Hukum,” janji politisi PKB itu.
Yongki juga menyayangkan banyak pasal yang disabotase. Harusnya Biro Hukum mengkonfirmasi Pansus jika ada Pasal yang perlu diubah. “Saya sebagai ketua pansus harus dikonfirmasi dong,” kesalnya.
Yongki mengatakan, sikap Biro Hukum yang tidak memberitahu DPRD NTB terhadap pasal yang dihilangkan adalah bentuk pelanggaran terhadap mekanisme penyusunan Perda.
“Itu pelanggaran terhadap mekanisme,” sebut dia.(jho)