LALE RENY MARLIANDINI FOR RADAR MANDALIKA PENGUKURAN: Petugas saat mengukur tinggi badan anak balita di salah satu desa di wilayah Kecamatan Jonggat, belum lama ini.

PRAYA – Kasus stunting atau gagal tumbuh pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Bonjeruk, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah mencapai 638 kasus atau sebesar 23 persen dari jumlah sasaran sebanyak 2.733 orang. Dari angka kasus stunting itu, tinggi badan anak sangat pendek ada sebanyak 121 orang dan pendek ada 517 orang. Angka kasus stunting itu tersebar di empat desa.
“Desa Bonjeruk, Pengenjek, Perina, dan Desa Bunkate,” sebut Koordinator Gizi Puskesmas Bonjeruk, Hj Mardianti kepada Radar Mandalika, kemarin (5/8).
Berturut-turut angka kasus stunting tertinggi di Desa Perina mencapai 108 kasus atau 33,9 persen dari jumlah sasaran sebanyak 318 orang, itu terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 27 orang dan pendek 81 orang. Kemudian disusul di Desa Pengenjek mencapai 289 kasus atau 23,1 persen dari sasaran 1.251 orang, itu terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 47 orang dan pendek ada 242 orang.
Selanjutnya, angka stunting di Desa Bunkate mencapai 57 kasus atau sebesar 21 persen dari jumlah sasaran sebanyak 271 orang, itu terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 9 orang dan pendek ada 48 orang. Kasus terendah di Desa Bonjeruk mencapai 184 kasus atau 20,1 persen dari jumlah sasaran sebanyak 893 orang, itu terdiri dari sangat pendek ada sebanyak 38 orang dan pendek ada 893 orang.
Dikatakan, hingga saat ini penanganan kasus stunting masih kurang maksimal semenjak terjadinya pandemi Coronavirus Disease atau Covid-19. Sebab, banyak anggaran yang tersedot demi penanggulangan virus corona. “Tahun 2020, kita posyandu stop tiga bulan,” ungkap Mardianti.
Diutarakan, lokus penanganan stunting baru dimulai di Desa Bonjeruk dan Pengenjek. Hanya saja kegiatan lokus tersebut dinilainya masih belum maksimal karena kegiatannya memang baru dimulai. “Itu dari dana desa,” tandas Mardianti.
Anggaran untuk penanganan stunting banyak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Sementara kata Mardianti, anggaran dari puskesmas palingan untuk dana kegiatan pertemuan-pertemuan. “Tapi kalau kegiatan yang berupa PMT (Pemberian Makanan Tambahan), kita tidak ada dari dana puskesmas,” ungkapnya.
Dijelaskan, pengadaan PMT itu sekarang harus dari dana desa (APBDes). “Kayak PMT posyandu, PMT balita itu ndak boleh dari dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan). Ada sih (dari dana BOK) tapi khusus untuk PMT untuk balita yang gizi kurang. Kalau gizi kurang itukan yang berat badan menurut panjang badan-nya itu kurang dari standar,” terang Mardianti.
Proses penanganan stunting butuh waktu lama. Tidak secepat seperti menyembuhkan penyakit-penyakit lain. Beda halnya dengan penanganan anak balita yang penderita gizi kurang itu bisa cepat teratasi. “Kalau stunting itu lama. Kalau gizi kurang kita bisa tangani cepat,” tandas Mardianti.
Kembali diakuinya, penanganan stunting dari empat desa sasaran Puskesmas Bonjeruk itu belum maksimal dilakukan hingga saat ini. Hal itu dikarenakan akibat dari dampak pandemi Covid-19. Persoalan utama stunting yaitu pola asuh anak, pernikahan dini, sanitasi atau kebersihan, sosial budaya, ekonomi, hingga lingkungan kurang maksimal. “Faktor utama stunting itu pola asuh,” tandas Mardianti.
Jumlah posyandu di empat desa itu ada sebanyak 42 posyandu. Rata-rata ada lima orang kader ditiap posyandu. Dikatakan, para kader selalu aktif melapor ke pihak puskesmas kalau ada ditemukan kasus stunting baru. “Sekarang ini ada satu kasus stunting di Desa Bunkate. Tapi sudah tertangani. Alhamdulillah berat badannya sudah naik. Tapi masih gizi kurang sih,” ungkap Mardianti.
Ditambahkan, ketersediaan alat ukur dan timbangan di desa rata-rata masih kurang alias belum memadai. Padahal alat yang standar juga berpengaruh terhadap angka stunding. “Kalau di Desa Perina sudah ada pengadaan alat untuk pengukuran tinggi badan yaitu Microtoice ditiap posyandu. Sama timbangan digital sudah ada di Perina. Kalau desa lain belum ada pengadaan,” tutur Mardianti.
Kendala di lapangan, ujarnya, sasaran tidak semua hadir pada saat pengukuran dan penimbangan berat badan. “Kalau Perina ini aktif sekali hampir 80 persen yang hadir. Kalau yang desa lain itu kan, misalnya kita ndak bisa kita selsaikan, nanti kader yang lakukan,” kata Maridanti.
Diutarakan, kegiatan pengukuran tinggi badan anak sudah kembali dimulai sejak awal bulan Agustus ini. Di semua puskesmas se-Indonesia. Hasil pendataan di posyandu itu kemudian akan diinput lewat aplikasi e-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM). (zak)

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 481

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *