PWI NTB sedang tidak baik-baik saja. Tapi juga bukan berarti buruk. Ia hanya sedang menunggu momentum. Dan momentum itu bernama perubahan.
Perubahan yang tak bisa ditunda. Bukan karena situasi mendesak. Tapi karena zaman tak lagi sama. Pemilihan Ketua PWI NTB kali ini hadir di titik penting: saat pers daerah menghadapi dua tekanan sekaligus—pengiklan yang kian tipis dan kepercayaan publik yang makin mudah goyah oleh hoaks.
PWI tidak bisa diam. Tidak bisa hanya menjadi lembaga seremoni. Karena itu, ketua yang dibutuhkan kali ini bukanlah mereka yang paling dikenal. Bukan pula mereka yang paling banyak menyimpan kenangan di masa lalu. Tapi mereka yang paling siap menjemput masa depan.
Digital tidak berarti harus ahli teknologi. Tapi setidaknya mengerti betul bahwa dunia media tidak lagi sama. Bahwa redaksi hari ini bukan hanya bicara soal berita, tapi juga traffic, engagement, dan algoritma. Bahwa wartawan bukan lagi hanya menulis, tapi juga harus tahu bagaimana tulisan mereka bisa ditemukan, dibaca, dan dipercaya.
Ketua PWI ke depan harus paham bahwa media daring tidak bisa dibina dengan cara lama. Mampu membuat pelatihan yang menyentuh kebutuhan zaman. Mengerti bahwa media sosial bisa jadi ancaman sekaligus peluang. Tidak hanya merangkul yang besar, tapi menghidupkan yang kecil.
PWI bukan menara gading. Ia rumah bersama. Maka pemimpinnya harus bisa duduk di tengah-tengah anggota, bukan berdiri di atas. Bisa mendengar keluhan wartawan yang belum UKW. Bisa memahami beban media lokal yang dikejar biaya operasional. Bisa memberi solusi, bukan hanya imbauan.
Ketua PWI harus tahu bahwa banyak wartawan hari ini hidup di ujung layar—berkejaran dengan waktu dan nyaris tidak punya ruang belajar. Maka organisasi ini harus kembali menjadi tempat mereka tumbuh, bukan hanya tempat mereka setor iuran.
Pemilihan Ketua PWI NTB yang dijadwalkan 2 Agustus 2025 nanti, tidak boleh sekadar jadi agenda lima tahunan. Ia adalah momentum untuk bangkit. Untuk menjawab pertanyaan besar: masih relevankah organisasi ini dalam dunia yang makin cepat dan cair?
Masih mampukah PWI menjadi benteng terakhir idealisme pers, atau hanya tinggal nama dalam papan struktur organisasi?
Pilihannya bukan soal siapa. Tapi soal apa yang dibawa.
Dunia pers sedang berubah. Entah kita siap atau tidak. Maka PWI harus berubah. Bukan hanya di logo atau program. Tapi di cara berpikir dan cara bertindak.
Ketua yang dibutuhkan bukan yang sekadar bisa pidato, tapi bisa memimpin di lapangan. Bukan hanya pandai mengutip kode etik, tapi juga bisa menjawab keresahan anggota. Bukan hanya kuat di masa lalu, tapi juga relevan untuk hari esok.
Jika pemilihan ini hanya menghasilkan nama, maka kita gagal. Tapi jika menghasilkan harapan, kita punya peluang. Peluang untuk menjadikan PWI NTB benar-benar digital, profesional, dan berarti. (red)