JHONI SUTANGGA/RADAR MANDALIKA DARI KIRI: Sekretaris Komisi IV DPRD NTB, Assat Abdullah, Anggota Komisi I DPRD NTB, Najamuddin Moestafa dan Anggota Komisi IV DPRD NTB, Ruslan Turmuzi saat jumpa pers, kemarin.

MATARAM – Sorotan pengerjaan ruas jalan kabupaten di Pulau Sumbawa dengan menggunakan anggaran percepatan jalan sesuai yang tertuang dalam Perda Nomor 12 tahun 2019, tentang program pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan Provinsi dengan pola pembiyaan tahun jamak telah dikaji komisi I DPRD NTB.

Komisi I menegaskan, pengerjaan jalan tersebut telah melanggar Perda Nomor 12 Tahun 2019. Pengerjaan ruas jalan kabupaten yang berada di Kabupaten Sumbawa bukan menjadi wewenang Pemrov sehingga dari aspek hukum telah melanggar ketentuan yang ada. Atas dasar itu mereka meminta agar pengerjaan jalan tersebut segera ditunda dan dihentikan.

“Hasil kajian komisi I, mereka (PUPR) melanggar Perda, jadi harus dibatalkan,” tegas anggota Komisi I DPRD NTB, Najamuddin Moestafa, kemarin.

Katanya, Komisi Pemberanatan Korupsi (KPK) dengan mudah masuk bilamana pengerjaannya diteruskan. Pasalnya, pengerjaannya diluar kewenangan apalagi akan menelan anggaran belasan miliar. Tujuan Perda percepatan jalan itu untuk  pemantapan jalan sesuai dengan target dalam RPJMD.

Politisi PAN itu menegaskan seandainya alasan Pemprov nantinya jalan kabupaten itu akan dialihstatuskan menjadi jalan provinsi harusnya proses pengalihannya diselesaikan terlebih dahulu baru dikerjakan. Sikap PUPR yang ngotot harus mengerjaannya itu menandakan PUPR mengajak gubernur NTB, Zulkieflimansyah melanggar Perda.

“Ini akan membuat rusak nama gubernur sebagai Kepala Daerah di mata publik,”katanya.

Kadis PUPR, Sahdan lanjut Najam harus dievaluasi dan bila perlu secepatnya diganti oleh gubernur. Tugas dinas selain eksekutor teknis program kepala daerah namun yang jauh lebih penting bagaimana menjaga nama baik gubernur.

“Secara hukum (kajian komis I) selesai, secara teknis (pengerjaanya) harus dievaluasi. Orang orag yang membiarkan gubernur kelolosoan (melanggar Perda) ini berarti kepala dinasnya “bodoh” ini,” sebut Najam.

“Ganti pak Sahdan itu, cari yang lebih cerdas. Itu merusak gubernur di mata publik. Sahdan mengajak gubernur melanggar Perda,” sambungnya.

Di tempat yang sama, anggota Komisi IV DPRD NTB yang membidangi Infrastruktur, Ruslan Turmuzi menegaskan boleh-boleh saja jika gubernur memakai pola hibah untuk mengerjakan ruas jalan di Kabupaten Sumbawa tetapi dananya melalui dana reguler dan tidak memakai anggaran percepatan jalan pembiyaan tahun jamak.

“Kalau sifatnya (memakai dana) reguler boleh,” kata Ruslan.

Ruslan mencontohkan, ada anggaran percepatan jalan sebesar Rp 5 Miliar yang dipotong untuk dikerjkan dititik yang lain hal itu berdasarkan permintaan gubernur maupun masyarakat setempat. Tetapi dana yang dipakai itu tidak masuk dalam dana percepatan jalan alias harus ada rekening yang berbeda.

“Itu sah sah saja,” katanya.

Justru yang ditentang komisi IV ketika pengerjaan jalan kabupaten Sumbawa dengan menggunkan istilah diskresi mencapai Rp 19 miliar yaitu ruas Jl Lendangguar – Batu Rotok sepanjang 5 KM tanpa ada pembahasan yang melibatkan komisi I. Parahnya lagi dana yang dimabil itu awalnya untuk pengerjaan jalan Provinsi yang ada di Kabupaten Bima.

Politisi PDIP itu menegaskan apapaun namanya entah diskresi, wewenang provini baik mekanismenya berbentuk hibah belajan ataupun barang harusnya dibahas dikomisi. Justru yang terjadi tidak pernah ada pembahasn.

“ Lalu tiba tiba pengerjaannya jalan kabupaten itu muncul dipercapatn jalan, Ini kan kurang ajar. Dia nyelonong namanya, membuat program baru. Kalau begini nggak penting dibahas di Komisi IV (di pembahasan sebelumnya),” tegasnya.

“Diskresi itu pun ada aturannya,” sambung dia.

Hal yang sangat aneh, jalan provinsi di Lombok Barat tepatnya di depan pendopo Bupati Lobar  yang waktu itu telah diusulkan secara resmi oleh Pemkab Lobar agar dimasukkan dalam percepatan jalan sayangnya  tidak dimasukkan dalam revisi Pergub Nomor 38 tahun 2020, perubahan Pergub nomer 46 tahun 2019. Padahal jalan itu layak untuk dimantapkan.

 “Ini ada apa?,” tanyanya.

Ditanya konsekwuensi ketika jalan itu tetap di kerjakan. Ruslan menegaskan KPK dengan mudah masuk. Sebab mengerjakan program yang bukan menjadi wewenang provinsi.

“(Konsekwuensi?) Ini soal kewenangan, KPK langsung masuk disitu,” katanya.

Sekretaris Komisi IV DPRD NTB, Assat Abdullah menegaskan kepala daerah tidak boleh sembarangan mengeluarkan diskresi. Ada syarat dan mekanisme jelas ketika mengeluarkan diskresi.

“Sesuai  UU Nomor 30 tahun 2014 salah satu syarat dan mekanisme boleh mengeluarkan diskresi , tidak menimbulkan konflik kepentingan,” katanya.

Dengan contoh yang ada di Lobar itu terkesan ada tumbang tindih, ada sikap tumpang tindih dan terkesan ada yang daerah di anak emaskan dan daerah yang dianak tirikan.

“Dan itu tidak boleh terjadi,” ungkapnya.

Komisi IV dalam waktu dekat akan memanggil Dinas PUPR NTB, Sekda NTB, Bappeda termasuk nantinya akan mengundang Kejaksaan guna membahas persolaan tersebut.

Sementara itu, Kepala Dinas PUPR NTB, Sahdan yang dikonfirmasi koran ini tidak memberikan tanggapan. Berdasarkan data yang didapatkan Radar Mandalika, hasil revisi Pergub Nomor 48 Tahun 2020 itu ada dua pengurangan dana percepatan yang ada di Kabupaten Bima yang disedot ke Kabupaten Sumbawa yaitu ruas jalan Bima – Tawali dengan panjang 42 KM sebelumnya dananya Rp 18 M sekian setelah di revisi menjadi Rp 12,8 M sekian lalu ruas jalan Simpasai – Wilamaci Bima dengn panjang 4,7 KM sekian Sebelumnya Rp 5 M sekian setelah di revisi menjadi Rp 329 juta, Talabiu – Simpasai Bima Sepanjang Rp 16,50 KM sekian sebelumnya dananya Rp 7,6 M sekian setelah direvisi menjadi Rp 7,2 M sekian.(jho)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *