MATARAM – Komisi Informasi (KI) NTB menegaskan nama perusahaan rekanan yang mengerjakaan proyek pemerintah masuk kategori informasi tidak dikecualikan alias publik berhak mengetahuinya.
“Kecuali nama orang, itu tidak boleh,” ungkap Ketua KI NTB, Suaeb Quri di Mataram kemarin.
Ini menanggapi desakan masyarakat belum lama ini yang hendak meminta data perusahaan serta besaran dana yang sudah dikembalikan ke kas daerah berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp 14 Miliar atas kekurangan volume dari pekerjaan proyek pekerjaan fisik percepatan jalan tahun jamak tahun 2022 pada Dinas PUPR NTB.
Namun demikian, Suaeb mengatakan masyarakat tidak bisa mendesak pemerintah untuk memberikan informasi kecuali melalui mekanisme yang diatur dalam undang-undang dan prosedur lainnya.
Suaeb mengatakan berdasarkan Undang-undang Informasi Publik Nomor 14 tahun 2018 telah jelas mekanisme pengajuan satu informasi. Meminta data harus resmi. Dari kelompok masyarakat apa atau perorangan, data yang diminta apa dan keperluannya apa. Detailnya dijelaskan pada pasal 21, pasal 22 memuat tentang mekanisme memperoleh informasi. Pasal 21 itu memastikan prinsip cepat, tepat waktu dan biaya ringan. Lalu pada 22 menyebutkan setiap pemohon informasi publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh informasi publik kepada badan publik secara tertulis atau tidak tertulis.
Sementara pada pasal 9,10 dan 11 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 dengan jelas memuat tentang penyampaian informasi publik.
“Meminta data harus surat resmi
10 hari pertama, kalau tidak direspon layangkan surat lagi. Kalau ndak di jawab baru sengketakan informasi,” terang Suaeb.
Menurutnya, biasanya semua OPD/lembaga telah memampang dengan jelas program kegiatan mereka masing-masing. Bahkan sejak pelelangan sudah diumumkan rekanan mana saja yang memenangkan tender.
“Kalau publik ingin ketahui kegiatan instansi bisa dicek di webnya. Sejak pemenang tender sudah diumumkan,” katanya.
Jika masyarakat tidak juga mengumumkan di web resmi mereka maka informasi yang dibutuhkan itu baru bisa ditempuh secara prosedural.
“Kalau tidak ditemukan, masyarakat meminta tapi secara prosedural,” terangnya.
Suaeb menegaskan, permintaan satu informasi merupakan hak masyarakat secara undang-undang. Begitupun dengan dinas instansi pun dapat juga tidak memberikan informasi jika informasi yang dibutuhkan itu masuk kategori dikecualikan. Untuk mengetahui apakah satu informasi itu dikecualikan atau tidak maka instansi tersebut bersurat ke KI untuk diuji konsekuensinya.
“Uji konsekuensi itu melihat apakah informasi itu bisa berdampak ndak ke perorangan atau perusahaan,” ujarnya.
Hal yang perlu diperhatikan, lanjutnya apakah satu informasi itu berakibat bisa membahayakan, dapat menggangu ketertiban umum, dapat mencelakakan orang atau berakibat pada mempidanakan orang. Kesemuanya itu telah jelas dilindungi oleh undang-undang.
Suaeb mengatakan semua prosedur keterbukaan informasi dan penyelesaian sengketa diatur pada pasal 24, 25 dan 26 UU Nomor 14 Tahun 2008.
“Cek sengketa informasi berdasarkan undang-undang. Prosedur dan diatur dalam Undang-undang tadi,” pungkasnya. (jho)