PRAYA – Dugaan tindak kekerasan terjadi di Pondok Pesantren Nurul Quran Mertak Tombok, Kecamatan Praya.
Dugaan kekerasan dialami inisial MJ, santri asal Desa Darek, Kecamatan Praya Barat Daya yang saat ini duduk dibangku kelas XII Madrasah Aliyah (MA) ponpes setempat. Dugaan tindakan kekerasan tersebut terjadi, Selasa (11/10) lalu.
Dari kejadian ini, MJ mengalami luka yang cukup parah. Wajahnya dalam kondisi lebam, bibir berdarah dan luka sobek di bagian kening yang membuatnya harus dijahit. Namun belum diketahui pasti penyebab kejadian tersebut, mengingat terjadi sekitar tengah malam. MJ saat itu langsung minta untuk diantar pulang. Namun dari pengakuan MJ, tak satu orang pun pengurus pondok saat itu berkenan mengantar, sehingga memutuskan pulang menggunakan ojek.
“Saya tidak tahu apa kesalahan keponakan saya, yang saya tahu selama ini dia sangat taat aturan Ponpes dan jarang pulang ke rumah. Apa yang dialaminya, dia sendiri tidak tahu pasti siapa pelakunya karena sempat pingsan, ketika bangun dia sudah menemukan wajah dalam kondisi terluka. Untuk mencari tahu dan minta pertanggungjawaban hari itu, saya langsung datang ke ponpes. Namun pihak ponpes juga tidak tahu apa yang dialami oleh keponakan saya, termasuk siapa pelakunya dan tidak mau bertanggungjawab,” terang keluarga korban, Suhaeriah saat dikonfirmasi Radar Mandalika, kemarin.
Ia mengaku, atas kejadian tersebut, keponakannya sampai saat ini masih trauma dan susah tidur karena sakit yang masih dirasakan.
“Saya dari pihak keluarga ingin masalahnya cepat selesai. Jumat (besok, red) kami akan datangi pondok,” terangnya.
Menurutnya, jika memang keponakannya berbuat salah, maka seharusnya dihukum sewajarnya. Jangan sampai mencederai atau melukai, karena itu sangat berpengaruh terhadap mental dan kesehatan anak.
“Selama tinggal dengan saya, dia orangnya pendiam, masih suka bermain sama anak-anak kecil dan penurut. Selama mondok juga tidak pernah berbuat salah,” tutupnya.
Terpisah, Kepala Madrasah Aliyah (MA) Nurul Quran Mertak Tombok, Masriadi membantah MJ menjadi korban kekerasan. Ia mengaku tidak mengetahui secara pasti kejadian yang dialami MJ, karena itu di luar pengawasannya. Karena selepas pendidikan formal akan dilanjutkan dengan program Diniyah sore hari dan itu tanggung jawab penuh pengurus Ponpes.
“Kita sudah berdamai, dan kita kasih pilihan apakah masih bertahan di pondok pesantren atau pindah,” terangnya saat ditemui, kemarin.
Ia menerangkan, yang dituntut di ponpes ialah kedisiplinan. Awal masuk menjadi santri sudah diberikan buku saku yang harus ditaati selama menjadi santri. Jika ada santri yang melakukan kesalahan atau tidak menaati aturan, bentuk hukuman yang diberikan yaitu push-up dan membersihkan kamar mandi.
“Mustahil santri dipukul atau dikasih hukuman sampai melukai. Meskipun peraturan ponpes sangat ketat,” tegasnya.
Dari pengakuannya, sejauh ini sudah banyak santri mencari cara supaya bisa pindah dan keluar dari Ponpes karena tidak kuat dengan aturan yang diterapkan.
“Terus terang saja, dari teman-temannya yang saya dengar itu alasannya supaya dia pindah. Dan tidak masuk akal juga penjaga kamar atau pengurus ponpes memukul tanpa ada sebab,” tambahnya.
Seorang santri tidak diperkenankan untuk merokok, harus hadir tepat waktu jika program Diniyah sudah dimulai, harus bisa bangun pagi. Jika aturan-aturan ini dilanggar maka surat peringatan langsung diberikan mengetahui orangtua. Jika tiga kali melakukan kesalahan yang sama maka orangtua wali langsung dipanggil.
“Sebesar apa pun kesalahan santri, kita memberikan hukuman yang bentuknya mendidik, tidak pernah sampai mencederai atau melukai,” terangnya.
Di Ponpes lanjutnya, ada beberapa santri yang ingin pulang pergi karena alasan tidak sanggup mengikuti aturan pondok dan program Diniyah. Namun karena ini peraturan lama setiap santri yang masuk diwajibkan untuk mondok.
“Bulan ini saja sudah dua orang yang minta pindah keluar dari ponpes. Makanya kita sangat selektif dalam penerimaan santri, dan kita tidak menerima siswa pindahan,” pungkasnya.(cr-hza)