MATARAM – Wartawan di tanah air berduka. Demikian juga di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pasalnya, Pemimpin Redaksi (Pemred) media online Lassernewstoday.com di Medan Sumatera Utara (Sumut), Mara Salem Harahap tewas ditembak Sabtu pekan kemarin oleh orang tidak dikenal (OTD).
“Tentunya kami sedih dan mengecam tindakan pembunuhan itu,” tutur Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Sirtupillaili saat dikonfirmasi, kemarin.
AJI Mataram menerima informasi, korban ditemukan bersimbah darah di dalam mobil yang dikendarainya, tidak jauh dari rumahnya di Huta VII, Nagori Karang Anyar, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun.
Media online milik Marsal Harahap kerap memberitakan dugaan penyelewangan yang dilakukan pejabat BUMN, maraknya peredaran narkoba dan judi di Kota Siantar dan Kabupaten Simalungun, serta bisnis hiburan malam yang diduga melanggar aturan.
“Apapun motifnya pembunuhan tidak bisa dibiarkan,” tegas Sir.
“Kita sendiri belum tahu persis penyebab pembunuhannya. Apakah murni kriminal biasa atau ada kaitan dengan berita. Tapi apapun alasannya pembunuhan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun,” katanya.
Pembunuhan Mara Salem Harahap, menambah daftar panjang kekerasan terhadap wartawan di Sumatera Utara dalam sebulan terakhir. Sebelumnya, pada 29 Mei, rumah jurnalis Linktoday.Com, Abdul Kohar Lubis, di Kota Pematangsiantar diteror orang tak dikenal dengan percobaan pembakaran rumah. Pada 31 Mei, mobil jurnalis MetroTV asal Kabupaten Serdangbedagai, Pujianto Sergai, yang terparkir di depan rumahnya dibakar OTD. Aksi teror itu tanggal 13 Juni, rumah orang tua jurnalis di Kota Binjai, Sofian, dibakar OTK. Sofian yang kerap memberitakan tentang maraknya perjudian di kota itu juga pernah diteror dengan bom molotov dan tembakan airsoft gun di rumahnya.
Sirtu menegaskan, sikap AJI Mataram tidak jauh beda dengan AJI lainnya. Apapun alasan yang melatarinya, kekerasan dan aksi main hakim sendiri tidak dapat dibenarkan karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.
“Kami juga mendesak Polda Sumut dan Polres Simalungun mengungkap motif dan menangkap pelaku pembunuhan,” desaknya.
Polda Sumut, Polres Pematangsiantar, Polres Serdangbedagai, dan Polres Binjai agar melanjutkan proses penyelidikan terhadap kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di wilayahnya. Ketidakpastian hukum dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis menjadi preseden buruk yang merugikan dunia pers karena tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.
“Sikap AJI juga meminta semua elemen masyarakat agar mendukung kebebasan pers dan menggunakan mekanisme yang diatur oleh Undang-Undang Pers dalam penyelesaian sengketa pers,” ungkapnya.
Kecaman juga datang dari Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di NTB. Kejadian itu sangat disesalkan. Indonesia sebagai bangsa yang menerapkan sistem demokrasi dan hukum harusnya tidak boleh terjadi kasus kasus tersebut apalagi yang menjadi korban insans pers yang bekera dilindungi oleh Undang-undang.
“Ini sangat kita sesalkan. Masih saja ada tindakan kekerasan yang dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap insan pers,” ungkap Ketua SMSI NTB, HM Syukur.
SMSI juga mendesak aparat berwenang mengusut tuntas kasus pembunuhan wartawan Lasernews.com itu. Polri baru baru ini telah mengeluarkan instruksi membasmi premanisme dimana-mana. Untuk itu, Syukur berharap agar premanisme yang dilakukan kepada insan pers juga bisa ditegakkan kepolisian.
“Kami juga mendesak Kapolda Sumatera Utara dan jajarannya untuk segera mengusut tuntas,” katanya.
SMSI juga mendorong Dewan Pers Republik Indonesia untuk melakukan investigasi tentang kaitan peristiwa penembakan dengan aktifitas jurnalistik yang dilakukan oleh korban. Semua pihak diimbau untuk menghargai kerja-kerja jurnalistik dan menghormati kebebasan pers di Indonesia. Jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh undang-undang. Pasal 8 UU Pers No. 40 tahun 1999.
Syukur menambahkan, dalam prinsip menghormati kebebebasan pers, jika ada pihak yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan akibat pemberitaan, hendaknya menggunakan hak jawab dan koreksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 poin 11 Undang-Undang No 40 tahun 1999 yang berbunyi.
“Hak jawab adalah hak seseorang atau kelompok untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berita fakta yang merugikan nama baiknya,” katanya. (jho)