MATARAM – Sejumlah organisasi wartawan di Provinsi NTB meminta Kasat Pol PP NTB, segera minta maaf kepada wartawan Radarmandalika.id (Radar Mandalika Group), Muh Arif.
Pasalnya, tindakan oknum anak buahnya di lokasi demo Senin siang kemarin, cukup membuat banyak pihak khususnya wartawan menyesalkan. Adapun tindakan oknum anggota Satpol PP, mendorong, memegang baju, mendompleng HP milik Arif. Anggota ini meminta Arif menghapus gambar diambil.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Sirtupillaili buka suara. Menurut dia, tidak sepantasnya aparat menghalang halangi kerja jurnalistik. “Sikap saya sebagai ketua AJI Mataram menyesalkan sikap aparat yang menghalangi kerja kerja jurnalistik. Harusnya ketika sudah disebut yang bersangkutan sebagai wartawan aparat tidak meneruskan intimidasi kepada jurnalis,” tegas Sirtu.
Katanya, apa yang terjadi dan dialami oleh wartawan radarmandalika. id itu dimana hasil gambar yang direkam di lapangan itu sebagai bentuk intimidasi.”Iya (intimidasi) karena meminta gambar untuk dihapus,” katanya.
Dijelaskan Sirtu, undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 4 UU mengatur bahwa pers nasional berhak mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. Sementara pasal 18 mengatur bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik akan diancam pidana maksimal dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.
“Pasal 8 dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum,” tegas wartawan Lombok Post itu.
Sirtu juga menegaskan, hendaknya semua pihak berpegang dan memahami pers juga bekerja atas UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.”Kami juga tetap menyarankan wartawan bekerja dengan mentaati kode etik yang diatur dalam UU tersebut,” tegasnya.
Sementara, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) NTB, Riadi Sulhi juga buka suara.”Kasat Pol PP harus meminta maaf,” desaknya.
Riadi menjeleskan, IJTI NTB menyesalkan pola pengamananan jalannya unjukrasa dengan tidak mengedepankan tindakan persuasif, padahal yang dihadapi adalah mahasiswa dan tidak ada tindakan anarkis apapun di dalamnya. Namun disikapi oleh petugas secara represif dan dipertontonkan di depan umum.
“Siapapun berhak menyampaikan aspirasi, asalkan semuanya dilakukan sesuai aturan. Tidak boleh dihalangi,” tegasnya.
Kedua, IJTI mengecam dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum Satpol PP yang telah melakukan tindakan tidak menyenangkan, dengan cara mendorong dan membentak, serta melakukan tindakan pengusiran kepada wartawan yang tengah meliput jalannya aksi.
Meskipun hal tersebut terjadi dalam kondisi caos penanganan aksi demonstrasi, namun petugas harusnya tidak arogan dan mengedepankan emosi dalam bertugas, harus tetap proporsional sesuai tugas pengaman dan tidak reaktif.
“Jurnalis dilindungi undang undang dalam melaksanakan tugas peliputan, ada pasal 40 tahun 1999, tidak boleh ada tindakan kekerasan, di dalamnya juga mengatur sanksi pidana bagi mereka yang menghalangi tugas dan melakukan kekerasan terhadap wartawan,” katanya.
Meski memahami atmosfir unjukrasa dan suasana caos yang terjadi, namun IJTI mendesak agar dilakukan sejumlah langkah klarifikasi oleh oknum petugas berikut instansi tempatnya bernaung.”Meminta instansi Satuan Polisi Pamong Praja melakukan klarifikasi dan meminta maaf tentang insiden kekerasan yang terjadi dan menimpa wartawan media online bernama Muhamad Arif ,” katanya.
IJTI juga mendorong dilakukannya langkah pembinaan, berikut diterapkannya sanksi tegas kepada oknum yang melakukan tindakan kekerasan. Jika ternyata dilakukan di luar prosedur tugas.
“Kami mendukung penuh hak masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, dalam mewujudkan keterbukaan informasi publik di daerah,” pungkasnnya.
Ditambahkan Ketua SMSI Provinsi NTB, HM Syukur. Dia juga menyesalkan aksi kekerasan yang dilakukan oknum aparat Pol PP. “Tugas aparat adalah menjaga agar demonstrasi berjalan tertib, bukan melakukan kekerasan,” katanya.(jho)